Sebagai daerah istimewa yang memiliki kewenangan khusus dalam penerapan syariat Islam, Aceh telah menempuh perjalanan panjang dalam mewujudkan masyarakat yang islami. Namun, dalam praktiknya, berbagai tantangan kontemporer terus bermunculan, memerlukan respons yang kreatif dan kontekstual. Salah satu persoalan yang masih kerap kita jumpai adalah maraknya pelanggaran terhadap ketentuan berbusana islami di ruang-ruang publik. Fenomena pakaian ketat, celana pendek, atau tidak berjilbab di jalan raya, pusat wisata, dan warung kopi seolah menjadi pemandangan yang sulit dihindari, terlepas dari berbagai upaya penegakan hukum yang telah dilakukan. Dalam konteks inilah, penulis merasa perlu untuk mengajukan sebuah gagasan wacana yang mungkin dapat menjadi bahan diskusi konstruktif bagi semua pemangku kepentingan. Gagasan tersebut adalah mengadaptasi kesuksesan sistem Electronic Traffic Law Enforcement (E-Tilang) ke dalam sebuah kerangka konseptual yang disebut “E-Tilang Syari’ah.” Wacana ini berangkat dari sebuah analisis bahwa pendekatan konvensional seperti razia, meski penting, memiliki keterbatasan dalam hal jangkauan, keberlanjutan, dan dampak jera yang ditimbulkan. Oleh karena itu, inovasi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi digital dipandang sebagai sebuah keniscayaan. Sebelum membahas lebih jauh tentang E-Tilang Syari‘ah, penting untuk memahami mengapa model E-Tilang lalu lintas layak menjadi acuan. Sistem tilang elektronik yang dijalankan oleh Kepolisian Republik Indonesia telah membuktikan diri sebagai terobosan hukum yang efektif. Mekanismesnya yang mengandalkan jaringan Closed-Circuit Television (CCTV) pada titik-titik strategis memungkinkan pelanggaran lalu lintas seperti menerobos lampu merah, melaju di bahu jalan, atau tidak menggunakan helm dapat terekam secara otomatis. Data kendaraan pelanggar kemudian teridentifikasi dengan akurat, dan surat tilang beserta bukti foto dikirimkan kepada pemilik kendaraan. Proses penyelesaian denda yang dapat dilakukan secara daring telah meminimalisir interaksi langsung, yang pada gilirannya mengurangi potensi praktik penyimpangan. Kelebihan utama dari sistem ini terletak pada tiga pilar: keotomatisan, transparansi, dan kepastian hukum. Sistem yang berjalan secara otomatis mengurangi ketergantungan pada subjektivitas oknum. Transparansi tercermin dari bukti visual yang tidak terbantahkan, sementara kepastian hukum hadir melalui proses yang terstandarisasi. Efek jera yang diciptakan pun menjadi lebih signifikan karena setiap pelanggaran hampir dipastikan akan berujung pada sanksi. Keberhasilan model inilah yang patut kita jadikan inspirasi untuk menjawab persoalan pelanggaran syariah yang bersifat massif dan tersebar. Baca Selengkapnya di Sumber Asli : Tribune Aceh
Fenomena Teumeunak dan Joget di Medsos, Pemerintah Aceh Diusul Bentuk Polisi Cyber Syariah
BANDA ACEH – Perkumpulan Rakyat Inisiatif Daerah untuk Empowerment (PRIDE) Aceh menyoroti fenomena joget dan ngomong kasar yang kini marak di kalangan masyarakat Tanah Rencong. Ketua PRIDE Aceh, Mulyadi, menyampaikan keprihatinan mendalam atas maraknya hal tersebut, khususnya perempuan mulai dari remaja hingga ibu rumah tangga, yang tampil berjoget dan berbicara kasar. Bahkan, lebih parahnya ada yang membicarakan hal-hal menjurus ke aktivitas seksual hanya demi meraih perhatian dan hadiah digital (gift) dari penonton dan pengikutnya. “Fenomena ini jelas mengancam generasi muda kita, karena media sosial adalah ruang yang paling sering diakses oleh anak-anak hingga orang dewasa di Aceh,” katanya, Minggu (21/9/2025). Mulyadi juga menegaskan, bahwa praktik tersebut telah merusak marwah Aceh sebagai daerah yang menegakkan Syariat Islam. Menurutnya, ruang digital yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk hal-hal produktif justru dipakai untuk mempertontonkan perilaku yang jauh dari nilai-nilai Islam. Mulyadi bahkan menyebut para tiktoker yang secara sadar mempertontonkan aurat, berjoget erotis, dan berbicara kasar di ruang publik digital sebagai penjahat moral. “Mereka adalah perusak generasi muda, karena konten seperti itu ditonton ribuan orang setiap hari. Efeknya sangat besar dalam merusak pola pikir dan akhlak anak-anak kita,” tegasnya. PRIDE menekankan perlunya kolaborasi antara Pemerintah Aceh, DPRA, aparat penegak syariat, dan Kemkomdigi untuk membangun regulasi yang jelas, termasuk mendukung pembentukan Polisi Cyber Syariah yang khusus memantau media sosial masyarakat Aceh. “Siapa pun yang kedapatan berbusana tidak sopan, berbicara kasar, atau beraktivitas yang bertentangan dengan syariat dalam live, akunnya harus segera ditindak atau di-take down. Ini demi menjaga marwah Aceh dan melindungi generasi penerus dari kerusakan moral,” jelasnya. Lebih jauh, Mulyadi mengungkap, bahwa Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan peningkatan signifikan penggunaan internet di Aceh. Pada 2017 hanya 22,86 persen masyarakat yang mengakses internet, angka itu naik menjadi 30,69 persen pada 2018, dan melonjak ke 35,60 persen pada 2019. Bahkan pada 2020, jumlah pengguna internet di Aceh mencapai 3,7 juta orang. Fakta ini membuktikan bahwa pengaruh media sosial semakin kuat di tengah masyarakat. Melihat kondisi itu, PRIDE Aceh mendorong Pemerintah Aceh bersama DPRA untuk segera merumuskan qanun yang mengatur tata kelola aktivitas di media sosial agar selaras dengan Syariat Islam. Namun sebelum ada payung hukum tersebut, Mulyadi menilai Gubernur Aceh bisa mengeluarkan surat edaran sementara sebagai upaya awal untuk mengingatkan generasi muda agar lebih bijak bermedia sosial. Selain itu, PRIDE Aceh juga meminta Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) RI untuk turut membantu Pemerintah Aceh dalam melakukan pengawasan dan penindakan. Pasalnya, kata Mulyadi, menurut data yang diungkapkan Menteri Komdigi, Meutya Hafid, sebanyak 80 persen orang tua tidak mengetahui aktivitas digital anak-anaknya. Fakta ini, kata harus menjadi peringatan serius. “Jangan sampai anak-anak yang di luar rumah terlihat sopan, tapi di dalam kamar justru nakal di media sosial. Orang tua harus semakin waspada,” pungkasnya. Sumber Asli : Tribunnews Aceh
60 Orang Laki-laki dan Perempuan Terjaring Razia Syariat Islam oleh Satpol PP dan WH Aceh
Banda Aceh – Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Aceh berhasil menjaring 60 pelanggar syariat Islam dalam razia penegakan Qanun Aceh yang dilaksanakan pada Sabtu, 10 Mei 2025. Dari total pelanggar tersebut, 17 orang di antaranya merupakan laki-laki, sementara 43 lainnya adalah perempuan. Kegiatan ini merupakan bagian dari operasi rutin dalam rangka menegakkan nilai-nilai syariat Islam dan menjaga ketertiban umum di wilayah Aceh Besar. Kegiatan yang dimulai pada pukul 15.30 WIB ini merupakan operasi gabungan yang melibatkan unsur Satpol PP & WH Provinsi Aceh, Satpol PP & WH Aceh Besar, serta Polisi Militer (POM). Dalam operasi tersebut. Kegiatan ini dilaksanakan berdasarkan Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, serta Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Kepala Satpol PP dan WH Aceh, Jalaluddin,SH.,MM melalui Kasi Humas Mohd Nanda Rahmana,S.STP.,M.Si menjelaskan, dalam operasi tersebut ditemukan sejumlah pelanggaran terhadap ketentuan berpakaian dalam Islam sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Ayat 1 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014. “Kami mendapati beberapa warga, khususnya perempuan, yang mengenakan celana ketat, celana pendek, dan tidak memakai hijab. Terhadap mereka langsung dilakukan pembinaan di tempat agar tidak mengulangi pelanggaran serupa di kemudian hari,” ujar Nanda. Menurutnya, para pelanggar menerima pembinaan dengan baik dan menyatakan kesediaan untuk mematuhi aturan berpakaian sesuai Syariat Islam. Selain penindakan, petugas juga memberikan himbauan secara persuasif kepada masyarakat sekitar. Kegiatan razia tersebut merupakan bagian dari upaya berkelanjutan Pemerintah untuk mewujudkan lingkungan sosial yang religius dan taat hukum dalam bingkai pelaksanaan Syariat Islam di Bumi Serambi Mekkah.